RANCANGAN
PERATURAN DAERAH JAWA BARAT
NOMOR .................... TAHUN 2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN
DENGAN RAHMAY TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR JAWA BARAT,
Menimbang :
a. bahwa
dalam pelaksanaan pembangunan di Daerah, tenaga kerja mempunyai peranan
dan kedudukan yang penting sebagai
pelaku dan tujuan pembangunan;
b. bahwa
pembangunan ketenagakerjaan dapat meningkatkan kualitas tenaga kerja dan
peransertanya dalam pembangunan daerah;
c. bahwa
belum ada Peraturan Daerah Jawa Barat yang mengatur penyelenggaraan
ketenagakerjaan;
d. bahwa
berdasarkan huruf a, b, dan huruf c diatas, perlu menetapkan Peraturan Daerah
Jawa Barat tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan.
Mengingat :
1. Pasal 18
ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Jawa Barat (Berita Negara
Republik Indonesia Nomor 4 Juli 1950) Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1950
tentang Pemerintahan Jakarta Raya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1950 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 15)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744)
dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Pembentukan Daerah Banten
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4010);
3. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1970 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);
4. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3474);
5. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
6. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan
dan Tindakan serta Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
(Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara 3941);
7. Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara
Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3989);
8. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4235);
9. Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ((Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
10. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4356);
11. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah kedua
kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 ((Lembaran Negara Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);
12. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran
Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5234);
13. Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737);
14. Peraturan
Daerah Jawa Barat Nomor 10 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Daerah Jawa
Barat (Lembaran Daerah Jawa Barat Tahun 2008 Nomor 9 seri D, Tambahan Lembaran
Daerah Jawa Barat Nomor 46);
Dengan Persetujuan Bersama :
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
Dan
GUBERNUR JAWA BARAT
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN DAERAH JAWA BARAT TENTANG
PENYELENGARAAN KETENAGAKERJAAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah
adalah Daerah Jawa Barat.
2. Gubernur
adalah Gubernur Jawa Barat.
3. Pemerintah
Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat.
4. Pemerintah
Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat.
5. Dinas
adalah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat.
6. Kepala
Dinas adalah Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat.
7. Lembaga
Kerjasama Tripartit selanjutnya disebut LKS Tripartit adalah Forum Komunikasi,
Konsultasi, dan Musyawarah tentang masalah Ketenagakerjaan yang anggotanya
terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan
Pemerintah Daerah .
8. Perusahaan
adalah :
a. orang
perorangan, badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang
perorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang
perorangan, persekutuan untuk badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang berkedudukan
diluar wilayah Indonesia.
9. Pengusaha
adalah :
a. Orang
perorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan
milik sendiri;
b. Orang
perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan
perusahaan bukan miliknya : dan
c. Orang
perorangan, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili
perusahaan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, yang berkedudukan diluar
wilayah Indonesia.
10. Serikat
Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk
pekerja/buruh baik diperusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas,
terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela
serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
11. Tenaga
Kerja adalah setia orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
12. Penyandang
Disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental,
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya yang terdiri dari disabilitas fisik dan
mental.
13. Tenaga
Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA, adalah warga Negara asing pemegang
visa kerja Warga Negara Indonesia yang ditunjuk dan dipersiapkan sebagai
pendamping TKA.
14. TKA adalah
badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar
upah atau imbalan dalam bentuk lain.
15. Pekerja/Buruh
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
16. Pemberi
Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau, imbalan
dalam bentuk lain.
17. Perencanaan
Tenaga Kerja yang selanjutnya disingkat PTK adalah proses penyusunan rencana
ketenagakerjaan secara sistematis yang dijadikan dasar dan acuan dalam
penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan.
18. Perencanaan
Tenaga Kerja Makro yang selanjutnya disingkat PTK Makro adalah proses penusunan
rencana ketenagakerjaan secara sistematis yang memuat pendayagunaan tenaga
kerja secara optimal dan produktif guna mendukung pertumbuhan ekonomi atau
sosial, baik didaerah, maupun sektoral sehingga dapat membuka kesempatan kerja
seluas-luasnya, meningkatkan produktivitas kerja dan meningkatkan kesejahteraan
pekerja/buruh.
19. Perencanaan
Tenaga Kerja Mikro yang selanjutnya disingkat PTK Mikro adalah proses
penyusunan rencana ketenagakerjaan secara sistematis dalam pemerintah Daerah,
maupun swasta dalam rangka meningkatkan pendayagunaan tenaga kerja secara
optimal dan produktif untuk mendukung pencapaian kinerja yang tinggi pada
Pemerintah Daerah atau perusahaan yang bersangkutan.
20. Penempatan
Tenaga Kerja adalah proses pelayanan kepada pencari kerja untuk memperoleh
pekerjaan dan pemberi kerja dalam pengisian lowongan kerja sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuan.
21. Hubungan
Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam
proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha,
pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
22. Hubungan
Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
23. Anak
adalah setiap orang yang berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun. Pengawasan
ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.
24. Upah
adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau, peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan kelaurganya, atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
25. Upah
Minimum Provinsi adalah upah minimum yang berlaku di Daerah Jawa Barat.
26. Perjanian
Kerja adalah Perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi
kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.
27. Peraturan
Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
28. Perjanjian
Kerja Bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat
pada Dinas dengan pengusaha atau beberapa pengusaha, atau perkumpulan pengusaha
yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban keduabelah pihak.
29. Mogok Kerja
adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara
bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan
atau memperlambat pekerjaan.
30. Penutupan
Perusahaan (lock out) adalah tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
seluruhnya, atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan.
Bagian Kedua
Asas
Pasal 2
Penyelenggaraan ketenagakerjaan dilaksanakan atas asas
keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Tujuan
Pasal 3
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk :
a. Mewujudkan
pemerataan, kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan perusahaan;
b. Meningkatkan
implementasi produktivitas pekerja/buruh secara optimal dan manusiawi;
c. Meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan kelaurganya; dan
d. Memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja;
e. Melaksanakan
pembinaan dan pengawasan dalam rangka peningkatan iklim yang ramah investasi;
dan
f. Penegakan
hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk pekerja/buruh dan pengusaha.
Bagian Keempat
Kedudukan
Pasal 4
Peraturan Daerah ini berkedudukan sebagai :
a. Pedoman
bagi perintah daerah dalam rangka penyelenggaraan ketenagakerjaan;
b. Pedoman
bagi pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka penyusunan kebijakan
penyelenggaraan ketenagakerjaan; dan
c. Pedoman
bagi pemangku kepentingan untuk berperan dalam penyelenggaraan ketenagakerjaan.
Bagian Kelima
Ruang Lingkup
Pasal 5
Ruang lingkup penyelenggaraan ketenagakerjaan, meliputi :
a. Informasi
ketenagakerjaan dan perencanaan tenaga kerja;
b. Pelatihan
kerja;
c. Pelayanan
penempatan tenaga kerja;
d. Perluasan
kesempatan kerja;
e. Perlindungan
kerja;
f. Hubungan
Industrial;
g. Pemutusdan
hubungan kerja;
h. Pembinaan
pengawasan ketenagakerjaan; dan
i. Koordinasi
pengawasan ketenagakerjaan.
BAB II
INFORMASI KETENAGAKERJAAN DAN PERENCANAAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Informasi Ketenagakerjaan
Pasal 6
(1) Pemerintah
Daerah bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan informasi ketenagakerjaan.
(2) Pengelolaan
informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
:
a. Pengumpulan;
b. Pengolahan;
c. Penganalisisan;
d. Penyimpanan;
dan
e. Penyajian,
penyebarluasan informasi ketenagakerjaan secara akurat, lengkap dan
berkesinambungan.
(3) Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membangun dan mengembangkan
sistem informasi ketenagakerjaan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembangunan dan pengembangan sistem informasi
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan
Gubernur.
Bagian Kedua
Perencanaan Tenaga Kerja
Pasal 7
(1) Dalam
rangka pembangunan ketenagakerjaan, Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan dan
menyusun perencanaan tenaga kerja.
(2) Perencanaan
tenaga kerja meliputi :
a. PTK
Makro; dan
b. PKT
Mikro.
Paragraf 1
Perencanaan Tenaga Kerja Makro
Pasal 8
PTK Makro bertujuan untuk :
a. Menyediakan
tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau
jasa;
b. Mempermudah
pelaksanaan pembaungan ketenagakerjaan yang meliputi,
1. Perluasan
kesempatan kerja;
2. Peningkatan
pendayagunaan tenaga kerja;
3. Peningkatan
kualitas tenaga kerja;
4. Peningkatan
produktiviyas tenaga kerja; dan
5. Peningkatan
perlindungan dan kesejahteraan pekerja.
Pasal 9
Tahapan Kegiatan PTK Makro meliputi :
a. Perhitungan
persediaan, kebutuhan, dan neraca tenaga kerja;
b. Pembentukan
tim;
c. Pelaporan
hasil pelaksanaan RTK Makro;
d. Pemantauan
terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro;
e. Pelaksanaan
evaluasi hasil pemantauan; dan
f. Pembinaan
terhadap penyusunan dan pelaksanaan RTK Makro.
Pasal 10
PTK Makro terdiri dari :
a. PTK
wilayah; dan
b. PTK
sektoral/sub sektoral.
Pasal 11
Kegiatan PTK Makro, menghasilkan RTK Makro.
Pasal 12
RTK Makro, disusun dengan sistematika sebagai berikut :
a. Pendahuluan;
b. Kondisi
ketenagakerjaan;
c. Perkiraan
dan perencanaan persediaan tenaga kerja;
d. Perkiraan
dan perencanaan kebutuhan akan tenaga kerja;
e. Perkiraan
dan perencanaan keseimbangan antara persediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja;
f. Arah
kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan; dan
g. Penutup
Pasal 13
Perhitungan Persediaan dan Kebutuhan akan tenaga kerja
dipergunakan untuk menyusun PTK Makro yang meliputi penyusunan perkiraan dan
perencanaan :
a. Persediaan
tenaga kerja;
b. Kebutuhan
akan tenaga kerja;
c. Keseimbangan
antara persediaan dan kebutuhan akan tenaga kerja; dan
d. Penyusunan
kebijakan, strategi, dan program pembangunan ketenagakerjaan.
Pasal 14
(1) Untuk
menjamin terlaksananya kegiatan PTK Makro yang sistematis dan komprehensif
perlu dibentik tim PTK Makro.
(2) Tim PTK
Makro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi lingkup kewilayahan dan
lingkup sektoral, meliputi :
a. Susunan
keanggotaan; dan
b. Tugas
tim.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan tugas Tim PTK Kewilayahan dan
Sektoral/Sub Sektoral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
peraturan Gubernur.
Paragraf 2
Perencanaa Tenaga Kerja Mikro
Pasal 15
PTK Mikro meliputi lingkup :
a. Badan
Usaha Milik Daerah;
b. Perusahaan
swasta; dan
c. Lembaga
swasta lainnya.
Pasal 16
PTK Mikro bertujuan untuk :
a. Menjamin
kelangsungan hidup dan pengembangan perusahaan melalui pelaksanaan program
kepegawaian yang terarah;
b. Menjamin
perlindungan pegawai, hubungan industrial yang harmonis, peningkatan
kesejahteraan pegawai dan keluarganya, dan menciptakan kesempatan kerja yang
seluas-luasnya.
Pasal 17
RTK Mikro paling sedikit memuat :
a. Persediaan
pegawai;
b. Kebutuhan
pegawai;
c. Neraca
pegawai; dan
d. Program
kepegawaian.
Pasal 18
Tahapan Kegiatan PTK Mikro meliputi :
a. Penyusunan;
b. Metode
penyusunan;
c. Tata
cara penyusunan laporan hasil pelaksanaan;
d. Tata cara
pemantauan terhadap penyusunan dan pelaksanaan;
e. Evaluasi
hasil pemantaun; dan
f. Tata
cara pembinaan terhadap penyusunan dan pelaksanaan.
Pasal 19
Ketentuan ini lebih lanjut mengenai PTK Mikro diatur dengan
Peraturan Gubernur.
BAB III
PELATIHAN KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
(1) Setiap
tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh dan atau
meningkatkan, mengembangkan keterampilan, keahlian, dan produktivitas kerja
sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
(2) Setiap
tenaga kerja mempunyai kesempatan untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan
bakat, minat, dan kemampuannya.
(3) Untuk
dapat mengikuti pelatihan kerja, peserta wajib memehuni persyaratan sesuai
dengan jenis dan tingkat program yang akan diikuti.
(4) Peserta
pelatihan kerja yang memiliki keterbatasan fisik dan/atau mental tertentu dapat
diberikan pelayanan khusus sesuai dengan keterbatasannya.
Pasa 21
(1) Pemerintah
Daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pelatihan di daearhnya sesuai
dengan tugas dan wewenang penyelenggaraan otonomi daerah di bidang
ketenagakerjaan.
(2) Pemerintah
Daerah menyiapkan tenaga kerja siap pakai yang memiliki kompetensi untuk
memenuhi kesempatan kerja di dalam dan di luar negeri melalui peningkatan
kualitas Balai Latihan Kerja.
(3) Pengusaha
bertanggungjawab atas pemberian kesempatan kepada pekerjanya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi
pekerjanya.
Bagian Kedua
Penyelnggara Pelatihan
Pasal 22
(1) Pelatihan
kerja diselenggarakan dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif, dan
efisien dalam rangka mencapai standar kompetensi kerja.
(2) Metode
pelatihan kerja sebagaimana dimaksud apada ayat (1) dapat berupa pelatihan :
a. Ditempat
kerja; dan/atau
b. Dilembaga
pelatihan kerja.
(3) Metode
pelatihan di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
diselenggarakan dengan pemagangan.
(4) Pemagangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Pelatihan
kerja di tingkat Daerah dapat diselenggarakan :
a. Balai
Latihan Kerja Dinas;
b. Lembaga
Pelatihan Kerja Pemerintah Daerah; dan
c. Lembaga
Pelatihan Kerja Swasta/Perusahaan.
(2) Penyelenggara
pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan :
a. Sarana
dan prasarana yang memenuhi persyaratan untuk menjamin tercapainya standar
kompetensi kerja;
b. Tenaga
kepelatihan yang memenuhi persyaratan kualifikasi kompetensi sesuai dengan
bidang tugasnya;
c. Lembaga
pelatihan kerja Pemerintah Daerah yang telah memiliki tanda daftar atau lembaga
pelatihan kerja swsata yang telah memiliki izin dari SKPD yang bertanggung
jawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota; dan
d. Pendanaan
dari Pemerintah Daerah.
(3) Pemerintah
Daerah bertanggung jawab terhadap pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d yang berkaitan dengan :
a. Pembinaan
dan penyelenggaraan sistem pelatihan kerja sesuai dengan tugas, wewenang, dan
tanggung ajwab dibidang pelatihan kerja;
b. Penyelenggaraan
pelatihan kerja untuk bidang profesi yang diperlukan tetapi tidak atau belum
dapat dilakukan oleh pemerintah Kabupaten/Kota;
c. Dukungan
penyelenggaraan uji kompetensi dalam rangka sertifikasi; dan
d. Dukungan
penyelenggaraan akreditasi LPK.
(4) Dinas
bertanggung jawab terhadap pengalokasian dana pembinaan dan pelaksanaan sistem
pelatihan kerja.
(5) Lembaga
pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat memperoleh
akreditasi dari lembaga akreditasi pelatihan kerja setelah melalui proses
akreditasi.
(6) Tata cara
untuk memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi pelatihan kerja sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pelatihan kerja skala Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Sertifikasi
Pasal 24
(1) Peserta
pelatihan yang telah menyelesaikan program pelatihan berhak mendapatkan
sertifikat pelatihan dan/atau sertifikat kompetensi kerja.
(2) Sertifikat
pelatihan kerja diberikan oleh lembaga pelatihan kerja kepada peserta pelatihan
ynag dinyatakan lulus sesuai dengan program pelatihan kerja yang diikuti.
(3) Sertifikat
kompetensi kerja diberikan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)
kepada lulusan pelatihan dan/atau tenaga kerja berpengalaman setelah lulus uji
kompetensi.
(4) BNSP dapat
memberikan lisensi kepada lembaga sertifikasi profesi yang memenuhi persyaratan
akreditasi untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
(5) Dalam hal
lembaga sertifikasi profesi tertentu belum terbentuk maka pelaksanaan
sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh
BNSP.
(6) Pelaksanaan
sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
harus mengacu pada pedoman sertifikasi kompetensi kerja yang ditetapkan oleh
BNSP.
BAB IV
PELAYANAN PENEMPATAN TENAGA KERJA
Bagian Kesatu
Penempatan Kerja Oleh Dinas
Pasal 25
Penempatan Tenaga Kerja, meliputi :
a. Penempatan
tenaga kerja dalam negeri
b. Penempatan
tenaga kerja luar negeri
Pasal 26
1. Setiap
perusahaan/User/Pengguna Tenaga Kerja, yang akan merekrut Tenaga Kerja untuk
kepentingan usahanya, Wajib melaporkan
rencana kebutuhannya kepada Dinas meliputi jumlah, jenis kelamin, usia,
pendidikan, jabatan dan syarat-syarat lain yang dibutuhkan untuk memperleh
Surat izin Rekrut.
2. Surat
Izin yang dimaksud untuk pengguna dalam hal merekrut tenaga kerja dalam rangka
penayangan di Papan Pengumuman, media masa/koran, media televisi, media maya,
konsultan tenaga kerja dan lain sebagainya.
3. Bagi
media yang dimaksud sebelum menerima permohonan penayangan kebutuhan tenaga
kerja, wajib meminta Surat Izin Rekrut tenaga Kerja kepada pemasang iklan.
4. Apabila
Pengguna tenaga kerja menayangkan kebutuhan atau rencana rekrut tenaga kerja
melalui Bursa Kerja Pemerintah yaitu melalui Info kerja. Depnakertrans.go.id,
tidak perlu lagi mengajukan permohonan Surat Pengantar Rekrut karena dianggap
sudah mengajukan permohonan.
Pasal 27
1. Setiap
Perusahaan, Lembaga, Yayasan, Perguruan Tinggi yang akan menyelenggarakan Bursa
Kerja atau Job fair, wajib mendapatkan Izin dari Dinas melalui rekomendasi oleh
Dinas Kabupaten/Kota.
2. Setelah
dilaksanakan, Wajib melaporkan realisasi penempatan tenaga kerja kepada Dinas.
Pasal 28
Dinas dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung
maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan
pengguna tenaga kerja.
Pasl 29
Dinas mempunyai fungsi dan tugas meliputi :
a. Pemberian
izin dan pembinaan lembaga penempatan tenaga kerja swasta skala daerah;
b. Pemberian
Surat Persetujuan Penempatan (SPP) lintas Kabupaten/Kota;
c. Pembinaan
pengantar kerja dan petugas antar kerja skala daerah;
d. Super
visi dan pengendalian pelaksanaan antar kerja skala daerah;
e. Penyeberluasan
lowongan kerja kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dibidang
ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
f. Bertindak
sebagai pusat kliring permintaan dan penawaran tenaga kerja dari/kepada SKPD
dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
g. Mengolah
dan menganalisis hasil kegiatan antar kerja skala Daerah;
h. Pelayanan
informasi pasar kerja skala Daerah;
i. Pembinaan
dan pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan skala Daerah;
j. Menyusun
proyeksi permintaan dan penawaran tenaga kerja skala Dearah;
k. Menyusun
sistem dan dan penyebarluasan IPK skala Daerah;
l. Melakukan
pembinaan jabatan funsional pengantar kerja dan petugas antar kerja skala
Daerah; dan
m. Pengendalian
penggunaan tenaga kerja asing.
Bagian Kedua
Lembaga Swsata Berbadan Hukum
Pasal 30
(1) Lembaga
Penempatan Tenaga Kerja Swsata (LPTKS) berbadan hukum Wajib memiliki izin
tetulis.
(2) Untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPTKS mengajukan permohonan
tertulis.
(3) Permohonan
izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk skala Daerah diajukan kepada
Dinas.
Pasal 31
(1) Permohonan
dari LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan verifikasi oleh Tim
yang dibentuk Kepala Dinas.
(2) Tim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), paling banyak beranggotakan 5 (lima) orang.
(3) Verifikasi
dokumen yang dilakukan oleh tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus sudah
selesai dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal
penerimaan permohonan.
(4) Dalam hal
dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim tidak lengkap, Kepala Dinas menolak
permohonan dalam Waktu paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak hasil
verifikasi.
(5) Dalam hal
dokumen yang telah diverifikasi oleh Tim dinyatakan lengkap, Kepala Dinas,
Wajib menerbitkan izin usaha LPTKS dalam waktu paling 5 (lima) hari kerja
setelah selesainya verifikasi.
Pasal 32
Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), diberikan
untuk jangka waktu paling lama 5(lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 33
(1) Permohonan
perpanjangan izin usaha LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, diajukan
paling lambat 30 (tiga pulu) hari kerja sebelum berakhir masa berlakunya.
(2) Dalam hal
LPTKS tidak memperpanjang izin usahnay, maka LPTKS yang bersangkutan Wajib
mengembalikan izin tersebut kepada Kepala Dinas.
Pasal 34
(1) Permohonan
perpanjangan izin usaha LPTKS diajukan secara tertulis.
(2) Permohonan
perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan Kepada Dinas.
(3) LPTKS yang
mengajukan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dalam kondisi
dijatuhi hukuman dan/atau kena sanksi.
Pasal 35
(1) Dalam hal
permohonan perpanjangan izin usaha LPTKS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1), dinyatakan lengkap maka izin perpanjangan LPTKS diterbitkan oleh
Kepala Dinas untuk izin yang berskala Daerah.
(2) Izin
perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib sudah diterbitkan dalam
Waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima.
Pasal 36
Dalam hal terjadi perubahan nama perusahaan, alamat, dan
direksi atau komisaris, LPTKS harus menyampaikan perubhan izin kepada Kepala Dinas
untuk izin yang berskala Daerah.
Pasal 37
(1) LPTKS
dapat memungut biaya penempatan dari pengguna dan dari tenaga kerja untuk
golongan dan jabatan tertentu.
(2) Golongan
dan jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Fungsi dan Tugas Pelaksana Penempatan
Pasal 38
(1) Dinas
melaksanakan fungsi pelayanan penempatan tenaga kerja meliputi :
a. Informasi
Pasar Kerja;
b. Penyuluhan
dan bimbingan jabatan; dan
c. Perantaraan
kerja.
(2) LPTKS dapat
melaksanakan sebagian fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 39
(1) Dalam
melaksanakan fungsi pelayanan IPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a,
Dinas mempunyai tugas :
a. Mengumpulkan,
mengolah dan menyusun data IPK;
b. Menganalisis
pasar kerja; dan
c. Menyajikan
dan menyebarluaskan IPK.
(2) Dalam
melaksanakan fungsi pelayanan penyuluhan dan bimbingan jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 huruf b, Dinas mempunyai tugas :
a. melakukan
penyuluhan jabatan;
b. memberikan
bimbingan jabatan;
c. melaksanakan
konseling kepada pencari kerja; dan
d. melaksanakan
analisis jabatan.
(3) Dalam
melaksanakan fungsi pelayanan perantaraan kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal
35 huruf c, Dinas mempunyai tugas :
a. melaksanakan
pelayanan kepada pencari kerja;
b. melaksanakan
pelayanan kepada pemberi kerja;
c. melaksanakan
pencarian lowongan pekerjaan;
d. melakukan
pencocokan antara pencari kerja dengan lowongan pekerjaan;
e. melaksanakan
penempatan tenaga kerja;
f. melaksanakan
tindaklanjut penempatan tenaga kerja;
g. membuat
dan melaporkan penempatan tenaga kerja secara berkala.
Bagian Keempat
Petugas Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 40
(1) Pelayanan
penempatan tenaga kerja pada Dinas dilakukan oleh pengantar kerja.
(2) Dinas,
wajib memiliki pejabat fungsional pengantar kerja.
(3) Dalam hal
Dinas belum memiliki pengnatar kerja sebgaiamana dimaksdu pada ayat (2),
pelayanan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang
dibidang penempatan tenaga kerja.
Bagian Kelima
Tata Cara Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 41
(1) Pelayanan
penempatan tenaga kerja diberikan kepada pencari kerja dan pemberi kerja.
(2) Pelayanan
penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
secara manual dan/atau sistem claring (on-line system
infokerja_depnakertrans.go.i).
(3) Pelayanan
penempatan tenaga kerja melalui sistem claring (on-line system) sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), harus terintegrasi dalam satu sistem pelayanan
penempatan tenaga kerja.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan gubernur.
Bagian Keenam
Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja
Pasal 42
(1) LPTKS
dan/atau pemberi kerja yang akan menempatkan tenaga kerja, wajib memiliki SPP
dari Dinas.
(2) SPP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Dinas untuk penempatan tenaga
kerja lintas Kabupaten/Kota dalam satu Daerah.
(3) Untuk
memperoleh persetujuan penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPTKS
harus mengajukan :
a. surat
permintaan dan rencana kebutuhan tenaga kerja dari pemberi kerja;
b. rancangan
perjanjian kerja antara calon tenaga kerja dengan pemberi kerja;
c. perjanjian
penempatan tenaga kerja antara calon tenaga kerja dengan LPTKS;
d. rekomendasi
dari instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota
daerah penerima bagi penempatan tenaga kerja.
(4) Dalam hal
penempatan tenaga kerja dilakukan oleh pemberi kerja, maka harus memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b dan huruf d.
Pasal 43
Penempatan Tenaga Kerja Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT)
oleh Lembaga Penyalur Tenaga Kerja.
1. Lembaga
penyalur Penata Laksana Rumah Tangga wajib memperoleh izin.
2. Untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud yang dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan :
a. Membentuk
badan hukum yang di dirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
b. Memiliki
kantor dan alamat yang jelas;
c. Memiliki
tempat penampungan yang memenuhi standar kesehatan dan kelayakan;
d. Memiliki
sarana dan prasarana yang memadai;
Pasal 44
Lembaga Penyalur, Wajib memonitor paska penempatan tenaga
PLRT dirumah tangga kurang lebih setiap 6 (enam) bulan.
Bagian Ketujuh
Pelaporan
Pasal 45
(1) SKPD yang
bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota wajib melaporkan data
penempatan tenaga kerja, setiap bulan pada Dinas.
(2) Dinas
wajib melaporkan data penempatan tenaga kerja setiap bulan kepada Gubernur.
(3) Gubernur
berdasarkan laporan Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melaporkan kepada
Menteri yang membidangi ketenagakerjaan melalui Direktur Jenderal.
BAB V
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 46
(1) Pemerintah
Daerah dan msyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja, di
dalam dan di luar hubungan kerja.
(2) Perluasan
kesempatan kerja di luar hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan
mendayagunakan potensi :
a. sumber
daya alam;
b. sumber
daya manusia; dan
c. teknologi
tepat guna.
(3) Penciptaan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui pola pembentukan
dan pembinaan tenaga kerja mandiri, terapan tekhnologi tepat guna, wira usaha
baru, perluasan kerja, sistem padat karya, alih profesi, dan pendayagunaan
tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan
kesempatan kerja.
(4) Lembaga
keuangan perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha dapat membantu dan
memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan
atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) di atur dengan Peraturan Gubernur.
BAB VI
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 47
Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang dapat bekerja
diwilayah Republik Indonesia atas permintaan pengguna dan atau sponsor yang
telah memperoleh izin dari instansi yang memang sesuai dengan bidang
kegiatannya.
Pasal 48
(1) Tenaga
Kerja Warga Negara Asing Pendatang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 hanya
dapat bekerja dalam hubungan kerja.
(2) Pengguna
dan atau sponsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 yang akan mempekerjakan
tenaga kerja warga negara asing pendatang wajib memiliki Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disyahkan oleh Direktur Jenderal Pembinaan
Penempatan Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 49
(1) Penggunaan
TKA dilaksanakan secara selektif dalam rangka alih tekhnologi dan keahlian.
(2) Setiap
pemberi kerja yang telah memperoleh izin mempekerjakan TKA batu wajib
melaporkan kepada Dinas.
(3) Dalam hal
pemberi kerja TKA akan memperpanjang izin mempekerjakan TKA, wajib mengajukan
permohonan perpanjangan kepada Gubernur.
(4) Perpanjangan
izin mempekerjakan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Gubernur
atau Kepala Dinas untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas Kabupaten/Kota.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara perpanjangan izin mempekerjakan TKA diatur
dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 50
(1) Pemberi
kerja TKA wajib melaporkan penggunaan TKA dan pendamping TKA diperusahaan
secara periodik 6 (enam) bulan sekali kepada Gubernur dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja.
(2) Gubernur
melaporkan izin mepekerjakan TKA yang diterbitkan secara periodik setiap 3
(tiga) bulan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan tembusan
kepada Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja.
Pasal 51
Gubernur berwenang mencabut izin mempekerjakan TKA dalam hal
pemberi kerja menggunakan TKA tidak sesuai dengan izin mempekerjakan TKA.
Pasal 52
(1) RPTKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) merupakan syarat untuk memperoleh
izin mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing pendatang (IKTA).
(2) RPTKA
diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
dengan mempertimbangkan kebutuhan pengguna dan kondisi pasar kerja dalam
negeri.
Pasal 53
(1) IKTA
sebagaiamana dimaksud Pasal 52 ayat (1) diberikan sesuai dengan jangka waktu
yang tercantum dalam RPTKA.
(2) Pengguna
dan atau sponsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) wajib membayar
Dana Pengembangan Keahlian dan Keterampilan dumuka sesuai dengan jangka waktu
berlakunya IKTA.
(3) Dalam hal
jangka waktu jabatan yang diduduki oleh tanaga kerja warga negara asing
pendatang lebih dari 5 (lima) tahun izin untuk mempekerjakan tanaga kerja warga
negara asing pada tahun berikutnya hanya dapat diberikan setelah tenaga kerja
asing yang bersangkutan memperbaharui visanya.
(4) Ketentuan
sebagaiamana dimaksud dalam ayat (3) tidak berlaku bagi tenaga kerja warga
negara asing pendatang sebagai penanam modal di Indonesia dan tercantum dalam
akte pendirian perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 54
Pemberi kerja TKA hanya dapat mempekerjakan TKA dalam
hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.
Pasal 55
Pemberi kerja TKA meliputi :
a. instansi
pemerintah, badan-badan internasional, perwakilan negara asing;
b. kantor
perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing, kantor perwakilan
berita asing;
c. perusahaan
swasta asing;
d. badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha asing yang
terdaftar di Instansi berwenang di Indonesia;
e. lembaga
sosial, keagamaan, pendidikan dan kebudayaan;
f. usaha
jasa impresariat.
Pasal 56
Pemberi kerja TKA yang berbentuk persekutuan perdata, firma
(Fa), persekutuan Komanditer (CV) dan Usaha Dagang (UD) dilarang mempekerjakan
TKA kecuali diatur dalam Undang-undang.
Pasal 57
(1) Pemberi
kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemberi kerja TKA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a.
(3) Pemberi
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemberi kerja yang
mempekerjakan TKA di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) RPTKA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan
IMPTA.
BAB VII
TATA CARA PENGESAHAN RPTKA
Bagian Kesatu
RPTKA
Pasal 58
Pemberi kerja TKA yang menggunakan TKA harus meiliki RPTKA
yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Bagian Kedua
PERPANJANGAN RPTKA
Pasal 59
(1) Permohonan
perpanjangan RPTKA diajukan oleh pemberi kerja TKA secara tertulis sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(2) Permohonan
perpanjangan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada :
a. Dirjen
atau Direktur untuk perpanjangan RPTKA lintas provinsi.
b. Kepala
Dinas Provinsi untuk perpanjangan RPTKA dalam 1 (satu) wilayah provinsi.
(3) Permohonan
perpanjangan RPTKA sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi :
a. laporan
realisasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dengan melampirkan sertifikat
pelatihan;
b. copy
keputusan RPTKA yang masih berlaku;
c. copy IMTA
yang masih berlaku;
d. copy
bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri atau retribusi melalui bank yang ditunjuk oleh Gubernur
atau Bupati/Walikota; dan
e. rekomendasi
jabatan yang akan diduduki oleh TKA dari instansi tekhnis apabila diperlukan.
BAB VIII
PERUBAHAN RPTKA
Pasal 60
(1) Pemberi
kerja TKA dapat mengajukan permohonan perubahan RPTKA secara tertulis sebelum
berakhirnya jangka waktu RPTKA.
(2) Pengajuan
permohonan perubahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
Dirjen atau Direktur.
(3) Perubahan
RPTKA sebagaimana dimaksadu pada ayat (1) meliputi :
a. perubahan
alamat perusahaan;
b. perubahan
nama perusahaan;
c. perubahan
jabatan;
d. perubahan
lokasi kerja;
e. perubahan
jumlah TKA; dan/atau
f. perubahan
kewarganegaraan.
BAB IX
PERSYARATAN TKA
Pasal 61
(1) TKA yang
dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. memiliki
pendidikan yang sesuai dengan syarat jabatan yang akan diduduki oleh TKA;
b. memiliki
kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat kompetensi atau pengalaman kerja
sesuai dengan jabatan yang akan diduduki TKA paling kurang 5 (lima) tahun;
c. bersedia
membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja Indonesia
pendamping; dan
d. dapat
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia
(2) Ketentuan
sebagaiaman dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi jabatan Komisaris,
Direksi, usaha jasa impresariat, dan pekerjaan yang bersifat sementara.
(3) Tenaga
kerja Indonesia pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus
memiliki latar belakang bidang pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang akan
diduduki TKA.
Pasal 62
Sertifikasi Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
TATA CARA MEMPEROLEH IMPTA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 63
(1) Setiap
pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban
memiliki izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi perwakilan
negara asing yang mempergunakan TKA sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
Bagian Kedua
Penerbitan IMTA
Pasal 64
(1) IMTA awal
diterbitkan oleh Direktur.
(2) IMTA
perpanjangan diterbitkan oleh :
a. Direktur;
b. Kepala
Dinas Provinsi; atau
c. Kepala
Dinas Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga
Tata Cara Permohonan IMTA
Pasal 65
(1) Pemberi
kerja TKA yang akan mengurus IMTA, terlebih dahulu harus mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Direktur untuk mendapatkan rekomendasi kawat persetujuan
visa (TA-01) dengan melampirkan :
a. copy
keputusan pengesahan RPTKA;
b. copy
paspor TKA yang akan dipekerjakan;
c. daftar
riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
d. copy
ijazah Sarjana atau keterangan pengalaman kerja TKA atau sertifikat komptensi
sesuai dengan jabatan yang akan diduduki;
e. copy
surat penunjukan tenaga kerja Indonesia pendamping; dan
f. pas
photo berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar.
(2) Dalam hal
permohonan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direktur harus menerbitkan rekomendasi kawat persetujuan visa (TA-01) dan
menyampaikan kepada Direktur Lalu Lintas keimigrasian (Lantaskim), Direktorat
Jenderal Imigrasi dalam waktu selambat-lambatnya pada hari berikutnya dengan
ditembuskan kepada pemberi kerja TKA.
(3) Ketentuan
sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi pemberi
kerja yang mepekerjakan TKA yang berstatus kawin campuran.
(4) Rekomendasi
kawat persetujuan visa (TA-01) sebagaiamana dimaksud pada ayat (2) berlaku
untuk jangka waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkan.
(5) Bentuk
formulir permohonan IMTA sebagaimana tercantum dalam formulir 6 Lampiran
Peraturan Menteri ini.
Pasal 66
(1) Dalam hal
Ditjen Imigrasi telah mengabulkan permohonan visa untuk dapat bekerja atas nama
TKA yang bersangkutan dan menerbitkan surat pemberitahuan tentang persetujuan
pemberian visa, maka pemberi kerja TKA mengajukan permohonan IMTA dengan
melampirkan :
a. copy
draft perjanjian kerja;
b. bukti
pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank pemerintah ynag ditunjuk
oleh Menteri;
c. copy
polis asuransi;
d. copy
surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa; dan
e. foto
berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(2) Dalam hal
persyaratan sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi, Direktur
menerbitkan IMTA selambat-lambatnya 4 (empat) hari kerja.
(3) Jangka
waktu berlakunya IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lama
1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang.
Pasal 67
(1) Dana
kompensasi penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b
ditetapkan sebesar US $100 (seratus dollar Amerika) per jabatan dan per bulan
untuk setiap TKA dan dibayarkan dimuka.
(2) Pemberi
kerja yang mempekerjakan TKA kurang dari 1 (satu) bulan wajib membayar dana
kompensasi sebesar 1 (satu) bulan penuh.
(3) Pembayaran
dana kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh
pemberi kerja TKA dan disetorkan pada rekening Dana Kompensasi Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (DKPTKA) pada Bank Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri.
(4) Dana kompensasi
penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNPB).
Pasal 68
(1) Pemberi
kerja TKA dilarang mempekerjakan TKA pada lebih dari 1 (satu) jabatan dalam
perusahaan yang sama.
(2) Pemberi
kerja TKA dilarang mempekerjakan TKA
yang sedang dipekerjakan oleh pemberi kerja TKA yang lain.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi TKA yang menduduki jabatan
Direksi atau Komisaris berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Pasal 69
Permohonan dan pelayanan penggunaan TKA yang meliputi
pengesahan RPTKA, rekomendasi persetujuan kawat visa bekerja, dan IMTA harus
dilakukan secara online melalui website Kementrian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi.
Bagian Keempat
Perpanjangan IMTA
Pasal 70
(1) Pemberi
kerja TKA yang akan melakukan perpanjangan IMTA, harus mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Direktur atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas
Kabupaten/Kota.
(2) Perpanjangan
IMTA sebagaimana dimaksud pada (1) diterbitkan oleh :
a. Direktur,
untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah provinsi.
b. Kepala
Dinas Provinsi, untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam 1
(satu) provinsi.
c. Kepala
Dinas Kabupaten/Kota, untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota.
(3) Permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari kerja sebelum jangka waktu berlakunya IMTA berakhir.
Pasal 71
(1) Permohonan
perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dilakukan dengan
mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan :
a. copy IMTA
yang masih berlaku;
b. bukti
pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank pemerintah yang ditunjuk
oleh Menteri atau retribusi melalui bank yang ditunjuk oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota;
c. copy
polis asuransi;
d. laporan
realisasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan dan tenaga kerja Indonesia
pendamping;
e. copy
keputusan RPTKA yang masih berlaku;
f. foto
berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar; dan
g. rekomendasi
dari instansi terkait untuk sektor tertentu.
(2) Dalam hal
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi maka permohonan
perpanjangan ditolak.
(3) Dalam hal
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lengkap, maka Direktur
atau Kepala Dinas Provinsi atau Kepala Dinas Kabupaten/Kota menerbitkan IMTA
paling lama 4 (empat) hari kerja.
Pasal 72
(1) IMTA dapat
diperpanjang sesuai jangka waktu berlakunya RPTKA dengan ketentuan setiap kali
perpanjnagan paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Jangka
waktu perpanjangan IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk
jabatan Komisaris dan Direksi.
(3) Jangka
waktu perpanjangan IMTA untuk jabatan Komisaris dan Direksri paling lama 2
(dua) tahun.
(4) IMTA perpanjangan
sebagaimana dimaksud ayat (1) digunakan sebagai dasar untuk perpanjangan KITAS.
Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan TKA diatur dengan
Peraturan Gubernur.
BAB XII
HUBUNGAN KERJA
Bagian Kesatu
UMUM
Pasal 74
(1) Hubungan
Kerja terjadi akibat perjanjjian kerja antara pengusaha dan pekerja / buruh .
(2) Perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , dibuat secara tertulis atau lisan.
Pasal 75
(1) Perjanjian
kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan
Keduabelah pihak;
b. kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan,dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
(3) Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dala, ayat (1)
huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 76
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan
pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggungjawab
pengusaha.
Bagian Kedua
Perjanjian Kerja Lisan
Pasal 77
(1) Perjanjian
Kerja dapat dibuat secara lisan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(2) Pengusaha
dalam perjanjian kerja lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat
surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang memenuhi persyaratan.
(3) Persyaratan
Perjanjian lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang meliputi :
a. Kespakatan
kedua belah pihak;
b. Kemampuan
atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya
pekerjaan yang diperjanjikan;dan
d. Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan kertertiban umum,kesusilaan, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Perjanjian Tertulis
Pasal 78
(1) Perjanjian
kerja tertulis yang dibuat secara tertulis paling kurang meliputi :
a. nama,
alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama,
jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan
atau jenis pekerjaan;
d. tempat
pekerjaan;
e. besarnya
upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
g. mulai dan
jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan tanda tangan para pihak dalam
perjanjian kerja.
(2) Ketentuan
dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak
boleh bertentangan dengan :
a. peraturan
perusahaan;
b. perjanjian
kerja bersama; dan
c. peraturan
perundang-undangan lainnya.
(3) Perjanjian
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat paling kurang rangkap 2 (dua),
yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha
masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.
Pasal 79
Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau
diubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Pasal 80
(1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan
bahasa Indonesia dan huruf latin.
(2) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu.
(3) Dalam hal
perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku
perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Pasal 81
(1) Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan
kerja.
(2) Dalam hal
disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
(2) Pemerintah
Daerah berkewajiban untuk memfasilitasi perlindungan tenaga kerja penyandang
disabilitas, paling kurang meliputi :
a. pelatihan
kerja;
b. penempatan
tenaga kerja;
c. penerimaan
kerja penyandang disabilitas paling kurang 1% (satu perseratus) tenaga kerja
pada perusahaan daerah dan/atau perusahaan swasta yang menggunakan tenaga kerja
paling sedikit 100 (seratus) orang;
d. upah dan
kontrak kerja;
e. fasilitas
kerja; dan pengawasan kerja.
(3) Perlindungan
bagi penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuia dengan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pekerja Anak
Pasal 87
(1) Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak.
(2) Pengecualian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk :
a. anak
berumur 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk
melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan
kesehatan fisik mental dan sosial;
b. anak
berumur paling rendah 14 (empat belas) tahun dapat melakukan pekerjaan di
tempat kerja bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang sah dan
diberi petunjuk kerja yang jelas, bimbingan, pengawasan dan perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja; dan
c. anak
dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya dengan syarat
dibawah pengawasan langsung orang tua/wali, waktu kerja paling lama 3 (tiga)
jam sehari serta kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan
fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
(3) Pengusaha
yang mempekerjakan anak harus memenuhi persyaratan :
a. Ada izin
tertluis dari orang tua/wali;
b. Ada
perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua/wali;
c. Waktu
kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. Dilakukan
siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e. Keselamatan
dan kesehatan kerja;
f. Adanya
hubungan kerja yang jelas; dan
g. Menerima
upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 88
(1) Pengusaha
dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan
yang terburuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. segala
pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b. segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran,
produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala
pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi
dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, zat adiktif lain;
dan/atau
d. semua
pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak.
Pasl 89
(1) Pemerintah
Daerah wajib melakukan upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan
kerja.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai upaya penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan
kerja sebagaimana dimaksud apada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Pekerja Perempuan
Pasal 90
(1) Pengusaha
dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan
dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya
bila bekerja antara pukul 23.00 s/d 07.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (Wib).
(2) Pengusaha
yang mempekerjakan perempuan antara pukul 23.00 s/d 07.00 Wib wajib :
a. memberikan
makanan dan minuman bergizi;
b. menjada
kesusilaan dan keamanan selama ditempat kerja;
c. menyediakan
antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara
pukul 23.00 s/d pukul 05.00; dan
d. memperoleh
izin dari Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur.
Bagian Keempat
Waktu Bekerja
(1) Setiap
pengusaha yang berusaha dan berkedudukan di Daerah wajib melaksanakan ketentuan
waktu kerja :
a. Selama 7
(tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 6 (enam) hari kerja
dan 1 (satu) hari Istirahat mingguan dalam seminggu;
b. Selama 8
(delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh)
jam seminggu untuk 5 (lima) hari kerja dan 2 (dua) hari Istrirahat
mingguan dalam seminggu; dan
c. waktu
kerja khusus pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
(2) Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja pada ayat (1) huruf b,
wajib :
a. ada
persetujuan pekerja/buruh;
b. paling
banyak 3 (tiga) jam sehari dan 14 (empat belas) jam seminggu;
c. wajib
membayar upah kerja lembur;
d. pengusaha
wajib memberikan istirahat kepada pekerja; dan
e. mendapat
persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur.
(3) Pengusaha
wajib memberikan istirahat kepada pekerja/buruh :
a. instirahat
antara, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja 4 (empat) jam terus
menerus;
b. istirahat
mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2
(dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. istirahat
pada hari libur resmi;
d. istirahat/cuti
tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah bekerja 12 (dua
belas) bulan terus menerus; dan
e. istirahat
bagi pekerja perempuan yang melahirkan anak selama 1,5 (satu setengah) bulan
sebelum dan saat melahirjan dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan,
atau gugur kandung.
(4) Pelaksanaan
waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Bagian Kelima
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 92
(1) Setiap
perusahaan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya.
(2) Kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi perusahaan :
a. mempekerjakan
pekerja/buruh paling rendah 100 (seratus) orang; dan/atau
b. mempunyai
tingkat potensi bahaya tinggi.
(3) Ketentuan
mengenai tingkat potensi bahaya tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengusaha
dalam menerapkan SMK3 wajib berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Pasal 93
(1) SMK3
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) meliputi :
a. penetapan
kebijakan K3;
b. perencanaan
K3;
c. pelaksanaan
rencana K3;
d. pemantauan
dan evaluasi kinerja k3; dan
e. peninjauan
dan peningkatan kinerja SMK3.
(2) Penerapan
mengenai SMK3 sebagaimana dimaksud ayat (1) sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keenam
Pengupahan
Pasal 94
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang
memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 95
(1) KHL
terdiri dari komponen dan jenis kebutuhan.
(2) KHL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 96
(1) Nilai
masing-masing komponen dan jenis KHL diperoleh melalui bsurvei harga yang
dilakukan secara berkala.
(2) Kualitas
spesifikasi teknis masing-masing komponen dan jenis KHL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disepakati sebelum survei dilaksanakan dan ditetapkan oleh Ketua
Dewan Pengupahan Provinsi atau Ketua Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota.
(3) Survei
dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota
dengan membentuk tim yang keanggotaannya terdiri dari anggota Dewan Pengupahan
dari unsur tripartit, unsur perguruan tunggi/pakar, dan dengan mengikutsertakan
Badan Pusat Statistik Daerah.
(4) Hasil
survei sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebagai nilai KHL oleh
Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota.
(5) Survei
komponen dan jenis KHL dilakukan sesuai dengan pedoman peraturan
perundang-undangan.
Pasal 97
(1) Dalam hal
di Kabupaten/Kota belum terbentuk Dewan Pengupahan, maka survei dilakukan oleh
Tim Survei yang dibentuk Bupati/Walikota.
(2) Tim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) keanggotaannya secara tripartit dan dengan
mengikutsertakan Badan Pusat Statistik setempat.
(3) Hasil
survei yang diperoleh tim survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
Bupati/Walikota sebagai nilai KHL.
Pasal 98
Nilai KHL yang ditetapkan oleh Dewan Pengupahan
Kabupaten/Kota atau Bupati/Walikota disampaikan kepada Gubernur secara berkala.
Pasal 99
(1) Penetapan
Upah Minimum oleh Gubernur berdasarkan KHL dan dengan memperhatikan
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
(2) Dalam
penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur harus
membahas secara simultan dan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :
a. nilai KHL
yang diperoleh dan ditetapkan dari hasil survei;
b. produktivitas
makro yang merupakan hasil perbandingan antara Jumlah Produk Domestik Regional
Brito (PDRB) dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama;
c. pertumbuhan
ekonomi merupakan pertumbuhan nilai PDRB;
d. kondisi
pasar kerja merupakan perbandingan jumlah pencari kerja di daerah tertentu pada
periode yang sama;
e. kondisi
usaha yang paling tidak mampu (marginal) yang ditujukan oleh perkembangan
keberadaan jumlah usaha marginal di daerah tertentu pada periode tertentu.
(3) Dalam
penetapan Upah Minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur
memperhatikan :
a. saran dan
pertimbangan Dewan Pengupahan Provinsi; dan
b. rekomendasi
Bupati/Walikota.
Pasal 100
Upah Minimum Provinsi yang ditetapkan Gubernur didasarkan
pada nilai KHL Kabupaten/Kota terendah di Daerah dengan mempertimbangkan
produktivitas, pertumbuhan ekonomi, kondisi pasar kerja dan usaha yang paling
tidak mampu.
Pasal 101
Upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur berlaku bagi
pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.
Pasal 102
(1) Pencapaian
KHL dalam penetapan upah minimum merupakan perbandingan besarnya Upah Minimum
terhadap nilai KHL pada periode yang sama.
(2) Penetapan
upah minimum diarahkan kepada pencapaian KHL.
(3) Pencapaian
KHL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan secara bertahap dalam
penetapan Upah Minimum oleh Gubernur.
BAB XIII
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 103
(1) Dalam
melaksanakan hubungan industrial, Pemerintah Daerah mempunyai fungsi :
a. menetapkan
kebijakan;
b. memberikan
pelayanan;
c. melaksanakan
pengawasan;
d. melakukan
koordinasi dengan instansi terkait; dan
e. melakukan
penindakan terhadap pelanggaran peratutan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam
melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat
buruhnya mempunyai fungsi :
a. Menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya;
b. Menjaga
ketrtiban demi kelangsungan produksi;
c. Menyalurkan
aspirasi secara demokratis;
d. Mengembangkan
keterampilan dan keahliannya;
e. Memajukan
perusahaan; dan
f. Memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam
melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi pengusahanya
mempunyai fungsi :
a. menciptakan
kemitraan;
b. mengembangkan
usaha;
c. memperluas
lapangan kerja; dan
d. memberikan
kesejahteraan pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 104
Hubungan Industrial dilaksanakan melalui sarana :
a. serikat
pekerja/serikat buruh;
b. organ
isasi pengusaha;
c. lembaga
kerjasama Tripartit;
d. peraturan
Perusahaan;
e. perjanjian
Kerja Bersama; dan
f. lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian Kedua
Serikat Pekerja/Serikat Buruh
Pasal 105
(1) Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Serikat
pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang
pekerja/buruh.
(3) Pembentukan
Serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk skala
Daerah memberitahukan secara tertulis untuk dicatat di Dias.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tatacara pencatatan serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Bagian Ketiga
Pengusaha
Pasal 106
(1) Setiap
pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai bentuk susunan organisasi, tugas pokok, fungsi dan tata
kerja serta personalia organisasi pengusaha ditingkat Daerah diatur dengan
Peraturan Gubernur.
Bagian Keempat
Lembaga Kerjasama Tripratit
Pasal 107
(1) LKS
Tripartit dibentuk Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur.
(2) LKS
Tripartit mempunyai tugas memberikan pertimbangan, saran, dan pendapat kepada
Gubernur dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah
ketenagakerjaan di Daerah.
(3) Keanggotaan
LKS Tripartit meliputi unsur :
a. SKPD;
b. Organisasi
pengusaha; dan
c. Serikat
pekerja/serikat buruh.
(4) Susunan
keanggotaan LKS Tripartit terdiri dari :
a. 1 (satu)
orang Ketua merangkap anggota, di jabat oleh Gubernur;
b. 3 (tiga)
orang Wakil Ketua merangkap anggota, masing-masing di jabat oleh anggota yang
mewakili unsur :
1. Dinas;
2. organisasi
pengusaha; dan
3. serikat
pekerja/serikat buruh;
c. 1 (satu)
orang Sekretaris merangkap anggota, di jabat oleh anggota yang mewakili unsur
yang berasal dari Dinas; dan
d. beberapa
orang anggota sesuia dengan kebutuhan.
(5) Jumlah
seluruh anggota dalam susunan keanggotaan LKS Tripartit paling banyak 27 (dua
puluh tujuh) orang yang penetapannya dilakukan dengan memperhatikan komposisi
keterwakilan unsur masing-masing paling banyak 9 (sembilan) orang.
(6) Keterwakilan
unsur sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) meliputi :
a. SKPD;
b. organisasi
pengusaha; dan
c. serikat
pekerja/serikat buruh.
(7) Komposisi
keterwakilan unsur dengan perbandingan :
a. 1 (satu)
unsur SKPD;
b. 1 (satu)
unsur organisasi pengusaha; dan
c. 1 (satu)
unsur serikat pekerja/serikat buruh.
(8) Dalam hal
salah satu unsur atau lebih tidak dapat memenuhi kesamaan jumlah keanggotaan
dengan unsur lainnya maka ketentuan komposisi keterwakilan tersebut tidak
berlaku.
Pasal 108
Keanggotaan LKS Tripartit diangkat untuk 1 (satu) kali masa
jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan berikutnya selama 3 (tiga) tahun.
Pasal 109
(1) Dalam
melaksanakan tugasnya, LKS Tripartit dibantu oleh Sekretraiat.
(2) Sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin seorang Sekretaris.
(3) Sekretaris
LKS Tripartit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara fungsional
oleh Dinas.
(4) Untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan tugas, dapat dibentuk Badan Pekerja yang
keanggotaannya dipilih dari anggota LKS Tripartit.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai susunan keanggotaan, tugas, dan tata kerja Badan Pekerja
diatur dengan Peraturan Ketua LKS Tripartit.
Bagian Kelima
Peraturan Perusahaan
Pasal 110
(1) Pengusaha
yang mempekerjakan pekerja/buruh paling kurang 10 (sepuluh) orang wajib membuat
Peraturan Perusahaan yang pemberlakuannya sejak disahkan Bupati/Walikota.
(2) Dalam
perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu) Kabupaten/Kota,
pengesahanperaturan perusahaan dilakukan Kepala Dinas.
(3) Kewajiban
membuat Peraturan Perusahaan sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak berlaku bagi
perusahaan yang telah memiliki Perjanjian Kerja Bersama.
(4) Kewajiban
membuat Peraturan Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
Bagian Keenam
Perjanjian Kerja Bersama
Pasal 111
(1) Perjanjian
Kerja Bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat
pekerja/serikat buruh yang dengan perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1
(satu) kabupaten/kota didaftarkan pada Kepala Dinas.
(2) Penyusunan
Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana di maksud pada ayat (1), dilaksanakan
secara musyawarah.
(3) Pengesahan
peraturan perusahaan untuk perusahaan yang terdapat pada lebih dari 1 (satu)
Kabupaten/Kota dilakukan oleh Kepala Dinas.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan tata cara pengesahan Perjanjian Kerja Bersama sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Paraturan Gubernur.
Bagian Ketujuh
Lembaga Perselisihan Perburuhan
Pasal 112
(1) Mogok
kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2) Pelaksanaan
mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan
jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu kepentingan umum
dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
(3) Paling
kurang dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha dan Gubernur.
(4) Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling kurang memuat :
a. hari,
tanggal dan jam mulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat
mogok kerja;
c. alasan
dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda
tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat
pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(5) Dalam hal
mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka untuk
menyelematkan alat produksi dan asset perusahaan, pengusaha dapat mengambil
tindakan sementara dengan cara :
a. Melarang
para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi,
atau; dan
b. Apabila
dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi
perusahaan.
Pasal 113
(1) Penutupan
perusahaan merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian
atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan,
Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan sebagai tindakan
balasan sehubungan dengan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau
serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Tindakan
penutupan perusahaan harus dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
BAB XIV
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 114
Pemutusan Hubungan Kerja meliputi pemutusan hubungan kerja
yang terjadi pada :
a. badan
usaha yang berbadan hukum;
b. badan
usaha yang tidak berbadan hukum;
c. milik
orang perseorangan;
d. milik
persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swsata maupun milik negara; dan
e. usaha-usah
sosial; dan
f. usaha-usah
lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah
atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 115
(1) Pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan Pemerintah Daerah, dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan atau tidak terjadi pemutusan
hubungan kerja.
(2) Dalam hal
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, pemutusan hubungan kerja wajib
dirundingkan :
a. pengusaha
dan serikat pekerja/serikat buruh; atau
b. pengusaha
dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal
perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menghasilkan persetujuan,
pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah
memperoleh penetapan dari Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial.
Pasal 116
Tata cara pemutusan hubungan kerja, pembayaran uang
pesangon, uang penggantian masa kerja dan penggantian hak dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XV
PEMBINAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 117
Pembinaan pengawasan ketenagkerjaan dimaksudkan untuk
mendukung kemampuan dalam melaksanakan penegakan hukum dibidang ketenagakerjaan
secara terpadu, terkoordinasi, dan terintegrasi.
Pasal 118
Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan pengawasan
ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pasal 119
(1) Pembinaan
pengawasan ketenagakerjaan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 90, meliputi :
a. kelembagaan;
b. sumber
daya manusia (SDM) pengawas ketenagakerjaan;
c. sarana
dan prasarana;
d. pendanaan;
e. administrasi;
f. sistem
informasi pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Pelaksanaan
pembinaan pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui :
a. bimbingan
;
b. konsultasi;
c. penyuluhan;
d. supervisi
dan pemantauan;
e. sosialisasi;
f. pendidikan
dan pelatihan;
g. pendampingan;
dan
h. evaluasi
Bagian Kedua
Kelembagaan
Pasal 120
(1) Pembinaan
kelembagaan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf
a dilaksanakan untuk meningkatkan kinerja melalui optimalisasi pelaksanaan
tugas dan fungsi pengawasan ketenagakerjaan Pemerintah Kota/Kabupaten.
(2) Pemerintah
Daerah melaksanakan pembinaan kelembagaan ketenagakerjaan pada pemerintah
Kabupaten/Kota, dengan melakukan :
a. bimbingan;
b. supervisi;
c. pendampingan;
dan
d. evaluasi.
Bagian Ketiga
Sumber Daya Manusia
Pasal 121
Pembinaan SDM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1)
huruf b dilaksanakan untuk :
a. memenuhi
kebutuhan SDM pengawas ketenagakerjaan;
b. meningkatkan
kualitas pengawas ketenagakerjaan; dan
c. penugasan
dan penempatan.
Pasal 122
(1) Pemenuhan
kebutuhan SDM pengawas ketanagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93
huruf a, dilakukan berdasarkan :
a. beban
kerja;
b. objek
pengawasan ketenagakerjaan; dan
c. formasi
sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk
pemenuhan kebutuhan SDM pengawas ketenagakerjaan sebagaimana di maksud pada
ayat (1) di Daerah, Pemerintah Daerah mengusulkan calon peserta pendidikan dan
pelatihan pengawas ketenagakerjaan kepada Menteri.
(3) Untuk
pemenuhan kebuthan SDM pengawas ketenagakerjaan ketenagakerjaan di
Kabpaten/Kota, Pemerintah Kabupaten/Kota mengusulkan kepada Menteri melalui
Pemerintah Daerah.
Pasal 123
(1) Peningkatan
kualitas SDM pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 hurf
b dapat dilakukan melalui :
a. pendidikan
dan pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil;
b. pendidikan
dan pelatihan ketenagakerjaan bidang keahlian/spesialis;
c. pendidikan
dan pelatihan peningkatan kemampuan;
d. bimbingan
teknis;
e. seminar;
f. lokakarya;
g. pelatihan
bagi pelatih;
h. studi
banding;
i. pemagangan;
dan/atau
j. pendampingan
(2) Materi
peningkatan kualitas SDM pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. penyusunan
rencana kerja pemeriksaan/pengujian;
b. penetapan
dan perhitungan;
c. penyebarluasan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
d. penyidikan
dibidang ketenagakerjaan;
e. pengembangan
dibidang pengawasan ketanagakerjaan;
f. kerjasama
dan koordinasi dengan mitra kerja; dan/atau
g. pelaporan
hasil pemeriksaan/pengujian.
(3) Pelaksanaan
peningkatan kulaitas SDM pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 124
(1) Peserta
pendidikan dan pelatihan pengawasaan ketenagakerjaan yang dinyatakan lulus dan
memenuhi persyaratan, ditunjuk sebagai pengawas ketenagakerjaan.
(2) Pengawsa
ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditugaskan
dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan serta ditempatkan yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 125
Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan SDM pengawas
ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan melakukan :
a. bimbingan;
b. supervisi;
c. pendampingan;
dan
d. evaluasi.
Bagian Keempat
Sarana dan Prasarna
Pasal 126
(1) Pembinaan
sarana dan Prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf c dilakukan
untuk meningkatkan kemampuan operasional unit kerja pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan
sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengadaan dan
penggunaan sarana dan prasaran.
(3) Sarana dan
prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :
a. kantor;
b. perlengkapan
kantor;
c. fasilitas
trasnportasi;
d. peralatan
pemeriksaan dan pengujian;
e. seragam
dan atribut pengawas ketenagakerjaan;
f. kartu
legitimasi; dan
g. penunjang
opersional lainnya.
Pasal 127
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembinaan sarana dan
prasarna kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, dengan melakukan :
a. bimbingan;
b. konsultasi;
c. supervisi;
d. pemantaun;
dan
e. evaluasi
Bagian Kelima
Pendanaa
Pasal 128
(1) Pembinaan
pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf d dilaksanakan
untuk menjamin ketersediaan biaya operasional pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Pembinaan
pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap perencanaan
dan pemanfaatan anggaran untuk :
a. Pemenuhan
kebutuhan dan peningkatan kemampuan pengawas ketenagakerjaan;
b. Penyebarluasan
norma ketenagakerjaan;
c. Pemerikasaan
dan pengujian;
d. Penyidikan;
e. Penyediaan
sarana dan prasarana;
f. Pengeloalaan
jaringan informasi;
g. Penyelenggaraan
administrasi teknis dan penyidikan;
h. Koordinasi
fungsional; dan
i. Kerjasama
pengawasn ketenagakerjaan.
Pasal 129
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembinaan pendanaan
ketenagakerjaan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dengan melakukan :
a. bimbingan;
b. konsultasi;
c. supervisi;
d. pemantuan;
dan
e. evaluasi.
Bagian keenam
Adminitrasi
Pasal 130
(1) Pembinaan
administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 129 ayat (1) huruf e dilaksanakan
untuk menjamin terselenggaranya administrasi teknis pengawasan ketenaga kerjaan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Administrasi
teknis pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pengelolaan
data pengawas ketenagakerjaan;
b. Pengelolaan
rencana kerja unit dan pengawas ketenagakerjaan;
c. Pengelolaan
data obyek pengawas ketenagakerjaan;
d. Pengelolaan
data kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian pengawas ketenagakerjaan;
e. Pengelolaan
data perizinan dan/atau pengesahan obyek
pengawas ketenagakerjaan;
f. Pengelolaan
data mitra kerja pengawasan ketenagakerjaan(kelembagaan dan personil);
g. Pengelolaan
data kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja; dan
h. Pengelolaan
laporan unit kerja pengawasan ketenagakerjaan.
(3) Dalam
rangka penyelenggaraan administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pengadaan penyelenggaran
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan.
(4) Untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan administrasi teknis pengawasan
ketenagakerjaan di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah
menyampaikan usulan peserta pendidikan dan pelatihan administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan kepada
Menteri.
(5) Untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan administrasi teknis pengawasan
ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pemerintah Kabupaten/kota menyampaikan usulan peserta pendidikan dan pelatihan
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan kepada Menteri melalui
Pemerintah Daerah.
Pasal 131
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembinaan administrasi
ketenagakerjaan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, melakukan:
a. bimbingan;
b. konsultasi;
c. supervisi;
d. pemantauan;
dan
e. evaluasi.
Bagian ketujuh
Sistem informasi Pengawasan Ketenagakerjaan
Pasal 132
(1) Pembinaan
sistem informasi pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 91
ayat (1) huruf f dilaksanakan untuk menjamin tersedianya inforamsi
ketenagakerjaan pada unit kerja pengawasan ketenagakerjaan.
(2) Sistem
informasi pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dibentuk melalui penyelenggaraan jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan.
(3) Penyelenggaraan
jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup memasukan, mengolah,
dan menyajikan data pengawasan ketenagakerjaan.
(4) Informasi
pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat data:
a. Sumber
daya manusia pengawas ketenagakerjaan;
b. Obyek
pengawasan ketenagakerjaan;
c. Kegiatan
pengawasan ketenagakerjaan;
d. Kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja;
e. Kelembagaan
dan mitra kerja pengawasan ketenagakerjaan;
f. Perizinan
dan rekomendasi; dan
g. Ketenagakerjaan
lainnya.
Pasal 133
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembinaan sistem
informasi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, melakukan:
a. bimbingan;
b. konsultasi;
c. supervisi;
d. pemantauan;
dan
e. evaluasi.
BABXVI
KOORDINASI PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN
Bagian Kesatu
Koordinasi Tingkat Daerah
Pasal 134
(1) Koordinasi
pengawasan ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mencapai kesamaan pandang dalam
pelaksanaan pengawasan letenagakerjaan.
(2) Koordinasi
pengawasan ketenagakerjaan diselenggarakan untuk melaksanakan hasil rapat
koordinasi tingkat nasional.
(3) Koordinasi
tingkat Daerah membahas dan/ atau menyepakati:
a. kondisi
pengawasan ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
b. kebutuhan
kelembagaan;
c. kebutuhan
SDM pengawas ketenagakerjaan;
d. kebutuhan
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan;
e. kebutuhan
penyelenggaraan jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan;
f. kebutuhan
koordinasi internal dan eksternal dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan;
g. kebutuhan
harmonisasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan antar Pemerintah Kabupaten/Kota;
h. kebutuhan
keseimbangan program dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan antar
Kabupaten/Kota;
i. kebutuhan
praktek dan/ atau pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan disesuaikan dengan
kebutuhan Daerah tanpa menyimpang dari kebijakan nasional;
j. tata
cara penanganan dan penyeleseian kasus bidang ketenagakerjaan; dan
k. hasil
pengawasan ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota dalam kurun waktu 1 (satu) tahun
terakhir; dan
l. hal-hal
lain yang dipandang perlu dalam pengawasan ketenagakerjaan.
Pasal 135
(1) Koordinasi
pengawasan ketenagakerjaan tingkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasak 134
dilaksanakan melalui rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah paling kurang 1 (satu) tahun.
(2) Rapat
koordinasi yang dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh:
a. Dinas;
b. SKPD di
bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota;
c. Instansi
Pemerintah Daerah terkait;dan/atau
d. Pihak
lain yang dipandang perlu.
Pasal 136
Hasil koordinasi pengawasan ketenagakerjaan tingkat daerah
ditetapkan Pemerintah Daerah menjadi:
a. Pedoman
pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan pada Pemerintah Kabupaten/Kota;dan
b. Bahan
rapat koordinasi tingkat nasional.
Bagian Ketiga
Rapat Kerja Teknis Operasional
Pasal 137
(1) Pemerintah
Kabupaten/Kota dapat melaksanakan rapat kerja teknis operasional terkait
pengawasan.
(2) Rapat
kerja teknis operasional sebagaiman dimaksu pada ayat (1) membahas dan
menyepakati upaya-upaya melaksanakan hasil rapat koordinasi tingkat Daerah.
(3) Dalam
rapat kerja teknis operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas
dan/atau disepakati hal-hal sebagai berikut:
a. kondisi
pengawasan ketenagakerjaan di masing-,asing Kabupaten/Kota;
b. kebutuhan
kelembagaan;
c. kebutuhan
SDM pengawas ketenagakerjaan;
d. kebutuhan
administrasi teknis pengawasan ketenagakerjaan;
e. kebutuhan
penyelenggaraan jaringan informasi pengawasan ketenagakerjaan;
f. kebutuhan
koordinasi internal dan eksternal dalam pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan;
g. kebutuhan
harmonisasi pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan dengan lenbaga/instansi yang terdapat di
Pemerintah Kabupaten/Kota;
h. kebutuhan
praktek dan/ atau pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan disesuaikan dengan
kebutuhan tanpa menyimpang dari kebijakan Pemerintah Daerah;
i. peran
pengawasan ketenagakerjaan dalam pertumbyhan sosial ekonomi setempat;
j. tata
cara penanganan dan penyeleseian kasus bidang ketenagakerjaan; dan
k. hal-hal
lain yang dipandang perlu dalam pengawasan ketenagakerjaan.
Pasal 138
(1) Rapat
kerja teknis operasional pengawasan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 137 diselenggarakan oleh
Pemerintah Kabupaten/kota paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Rapat
kerja teknis operasional sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) dihadiri:
a. SKPD
dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota;
b. Instansi
pemerintah terkait;dan/atau
c. Pihak
lain yang dipandang perlu.
Pasal 139
Hasil rapat kerja teknis operasional pengawasan
ketenagakerjaan tingkat Kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 110
digunakan sebagai bahan rapat koordinasi tingkat provinsi.
BAB XVII
SANGSI ADMINISTRASI
Pasal 140
(1) Pelanggaran
terhadap pasal 26, pasal 27, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 35, Pasal 42,
pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 53, Pasal 61,
Pasal 63, Pasal 67, Pasal 77, Pasal 84, Pasal 85, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92,
Pasal 110 dan Pasal 112, dapat dikenakan sangsi administrasi berupa:
a. teguran;
b. peringatan
tertulis;
c. pembatalan
kegiatan usaha;
d. pembekuan
kegiatan usaha;
e. pembatalan
persetujuan;
f. pembatalan
pendaftaran;
g. pemberhentian
sementara sebagian atau seluruh alat produksi;atau
h. pencabutan
izin.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaiman
dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 141
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140
tidak menghilangkan sanksi pidana.
BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 142
Terhadap perbuatan yang dapat diklasifikasikan ebagai tindak
pidana yang diancam sanksi pidana diatur sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB XIX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 143
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan yang telah ada sepanjang
tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Peratauran
Daerah ini, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 144
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam peraturan
Daerah ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak peraturan
Daerah ini diberlakukan.
BAB XX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 145
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal di
undangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Jawa Barat.
Ditetapkan
Di Bandung
Pada
Tanggal ____2014
GUBERNUR
DAERAH JAWA BARAT
AHMAD HERYAWAN
Diundangkan Di Bandung
Pada Tanggal ____________________2014
SEKRETARIS DAERAH JAWA BARAT
IWAN RIDWAN
LEMBARAN DAERAH JAWA BARAT TAHUN 2014 NOMOR
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.